Setelah sekian lama tak merangkai kata di folderku, kini aku punya waktu yang agak senggang untuk kembali menulis sepenggal kisah dari perjalanan hidup kami (aku dan teman-temanku).
Kala ini aku ingin sedikit bercerita tentang profesi yang tengah kami geluti, maksudku pekerjaan sampingan untuk mengais rezeki yang Allah telah tentukan bagi kami.
Dia seorang penjaga kios jasa pengetikan, dan printing. Namanya Abu dzar, namun kadang kala pula ia dipanggil iccank atau ical ca’em. Miri-miripdngan nama dewan seniornya mahasiswa fakultas tempat kami belajar bahasa inggris.
Tidak banyak mahasiswa baru yang mengenal sosok pria sejati ini. kata iklan “LAKI”. Meski tergolong mumpuni dalan pendanaan hidup di kampong “hijrah”nya akan tetapi hal itu tidak malah membuatnya menjadi pemuda yang malas dan ongkang-ongkang kaki serta berfoya dengan gemerlapnya dunia malam di serambi cina.
Di tahun ke duanya di negeri baru ini memberikan tantangan baru untuknya, yaitu menjadi seorang penjaga kios jasa pengetikan dan printing. Meski banyak orang yang memandangnya sebelah mata, namun sejuruss pemuda memandang beliau berbeda. Decak kagum terucap darilisan mereka ataskebanggaan dan kekaguman mereka kepada pria yang memasuki usia ke 21 nya. Lumayan tua.
Prestise bukan dunianya, dia hidup untuk dirinya dan jalan yang tlah ia pilih. Ingatk kawan, aku berbicara tentang sahabat-sahabatku!
Dikeseharianya mengurusi selusin pelajar yang berdesak-desakan mencoba meraih posisi pertama untuk menyelesaikan makalah dan tugas-tugasnya yang belum tr-print sampai pagi hari menjelang mata kuliah dimulai. Dia (abu dzar) rela duduk berjam-jam untuk melayani segala kebutuhan dan gundah mereka!
Banyangkan kawan, betapa banyak mahasiswa yang telah ia tolong –setelah izin Allah- untuk menyelesaikan tugas-tugas mereka dan mendapatkan predikat lulusan terbaik.!
Aku, orang yang sedikit banyaknya pun kagum dengan kehidupannya, sehingga ku coba untuk menuliskan pengalaman nyata darinya, meskipun tak semuanya terekam dalam memori-memori kecilku. Pemuda yang penyabar meski terkadang berkat-kata dengan nada yang tinggi. Yang selalu memasak nasi dan menyediakan jatah bagi sahabat2 nya yang tidak sempat pulang untuk menyantap makanannya di pagi hari. Sarapan pun jadi makan siangnya.
Orangnya yang lucu, natural dalam lelucon-leluconnya –meski sebenarnya aku sering curiga kalau kesalahannya bukan kebetulan, heheh- yang menggelikan perut. Raut jengkel pada wajahnya yang merah padam. Dengkuran nafasnya dikala tertawa cekikikan. Orang yang unik dan berguna. Pipi merah merona dikala malu-malu ketika jalan memaksanya berpapasan dengan “mereka”. Ah kenapa ada mereka lagi?
Intinya kawan, ambillah ibroh dari beliau. Hidup berkecukupan tidak berarti bersatai, namun sebagai modal besar bagi kita untuk belajar mencari nafkah… bukankah Allah mencintai sesorang yang makan hasil jerih payahnya sendiri.?
Ntar ana cerita tentang sahabat-sahabat ana yang lain kok, tunggu yah…
0 comments:
Post a Comment