Tidak dipungkiri lagi bahwa tempat untuk mendapatkan ilmu agama tersebar
luas dengan segala macan jenis dan macamnya. Dari yang sifatnya umum sampai
jenis khusus yang disampaikan dalam bentuk kelompok-kelompok kecil. Ada yang
disebut taklim, ada daurah, ada muqobalah, liqo, tarbiyah dan lain-lain
sebagainya yang terkadang beda nama namun substansi yang sama.
Terkhusus bagi kita yang selama ini menempuh beberapa cara dan mengambil
cara yang memang akan memeberikan pengaruh yang besar kepada mad’u dan peserta),
yaitu Tarbiyah.
Tarbiyah yang kita jalanani adalah model menuntut ilmu yang memang
sangat efektif bagi masyarakat. Kita dikontrol untuk memperbaiki bacaan Al
Quran, kita dibimbing untuk mengetahui hukum-hukum tajwid dengan intensif dan
terkontrol, kita juga dibimbing untuk memiliki agenda hafalan Al Quran dan
Hadits yang akan disetor kepada murobbi agar ditahu yang mana yang keliru dan
yang mana yang sudah bagus. Materi yang disajikan juga berjenjang sehingga
mudah untuk difahami. Kesemua agenda yang kita lakukan dalam tarbiyah begitu
membentuk diri kita untuk menjadi Muslim sejati yang bisa kita sebut dengan 5
M.
Tarbiyah membentuk kita untuk menjadi seorang mukmin yang shaleh bagi
pribadi kita. Kemudian kita akan diajar dan terus menuntut ilmu agar menjadi
seorang yang mushlih, yaitu orang yang merasa risau dengan keadaan
sekitar-kita. Setelah hal tersebut tercapai, maka kita meneruskan menuntut ilmu
sehingga terbentuk pribadi yang mujahid yang siap untuk berjuang dan berdakwah.
Kesadaran dakwah sudah muncul dalam diri dengan bimbingan murobbi yang tak
ada lelahnya untuk mengajari kita ilmu agama. Sehingga kita dituntut lagi
untuk menjadi muta’awin, yaitu orang
yang dapat bekerja berkelompok untuk menjalankan dakwah ini, agar kita saling
menjaga dan ada teman dalam perjuanagn sebagaimana para Nabi dan Rosul yang memiliki
sahabat-sahabat diri yang dekat dengan mereka. Menjadi bithonah-bithonah yang
saling menguatkan dalam perjuangan. Dan tahap terakhir yang ingin kita capai
adalah menjadi Mutqin. Yah, menjadi Mmutqin (baca: professional) dalam bidang
dan kemampuan diri yang kita miliki.
Menjadi seorang mahasiswa yang bergelar pejuang dakwah menuntuk kita
untuk bisa berakselerasi memiliki sifat-sifat tersebut dalam waktu yang
relative singkat. Tidak lebih dari 2 tahun agar dapat menjadi generasi pelanjut
estafet perjuangan sebab usia dakwah di kampus kita –katakanlah- tak lebih dari
5 tahun (itung-itung jaga citra: ntar ada komentar : “aktivis kok lambat
selesai?”).
Sehingga tak tanggung-tanggung, amanah yang kita emban terkadang
melelahkan tubuh kita.
Dakwah! Siapa yang tidak kenal dakwah? Bagi seorang aktivis yang sudah
lama (bahkan yang baru juga sering ada) melakoni dunia “persilatan” sebagai
kativis begitu faham tentang keutamaan menjadi seorang da’i.
Allah sbhanahu wa ta’ala berfirman dalam QS:
Fushshilat :33.
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang
yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata:
"Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?"
Allah sebutkan bahwa orang yang paling baik perkataannya adalah dai yang
da’a Ilallah. Maka siapakah gerangan manusia yang tak ingin menjadi seorang dai
yang menyeru kepada Allah dan kepada kebaikan agar mendapatkan kemuliaan
kecuali orang yang hatinya telah dikuasai oleh hawa nafsu dan dilalaikan oleh
syaithon.
Tidak tanggung-tanggung, Allah subhanahu wa ta’ala pun berfirman dan
mengkhususkan hanya orang-orang yang berdakwah sebagai orang yang beruntung. Sebagaimana
dalam QS Ali Imran:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.
Maka tidak jarang kita akan mendapati begitu banyak pemuda dengan celana
cingkrang dan janggot dari yang tipis-tipis sampai lebat seperti orang arob,
bertebaran di kampus-kampus di dampingi (maksudnya bekerja sama dalam beberapa
kegiatan kecuali yang sudah nikah, boleh jalan berdampingan bahkan bergandengan
tangan, hehe… hust…) muslimah-muslimah dengan kain (baca: jilbab) yang
menutupi dari yang kepala sampai
pinggang sampai kepala ke mata kaki, dan ditambah dengan kain penutup wajah
yang kita sebut cadar. Subhanallah, alangkah indah pemandangan ini. begitu
mengagumkannya pemuda-pemudi ini. semangat mengajak kepada kebaikan yang luar
bisa.
Trus, apa hubungannya dengan judul?
Yah, kami hanya ingin sedikit mengingatkan diri kami dan sadara-saudari
sekalian (terlepas dari segala kekurangan diri kami, antum boleh kok mengatai
kami dalam hati, hehe.. dalam hati aja yah supaya tidak berantem, ato buat
catatan tandingan sajalah, kebetulan kami tidak terlalu oral dalam
berkomunikasi, maka kami tumpahkan saja rasa ini disebalik kertas elektronik
ini).
Kembali ke laptop!
Antara Dakwah vs Tarbiyah, yah itulah judulnya.
Bersambung.........................................................................................................................
Memaknai tarbiyah yang sudah kita jalani selama ini, apakah sesuatu yang
memang kita rindukan ataukah tidak merupakan pertanyaan simpel namun sarat
dengan makna. Dakwah dan tarbiyah, begitu kita sering menyebutnya, namun
perhatikanlah wahai saudara-sadariku.
Catatan ini bisa sangat bersifat subjektif dalam mengangkat masalah
dakwah dan tarbiyah, sehingga kami mengajak kepada pembaca sekalian untuk
senantiasa mengedepankan prasangkaan baik kepada diri kami. Sebab kami
berbicara berdasarkan bukti empiric yang ada.
Dalam
QS. Al Baqorah ayat 44 Allah berfirman:
“Mengapa
kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri
(kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah
kamu berpikir?”
Kita berdakwah untuk mengajak manusia agar terbina dalam tarbiyah agar
mereka faham dengan Islam lebih dalam, namun sangat disayangkan, jika kita
begitu gencar untuk mengajak manusia kepada kebaikan ilmu (tarbiyah) namun diri
kita sendiri yang tidak becus dalam mengikuti tarbiyah, dengan segala problem
yang ada, entah karena alasan capai, entah sibuk kerjakan tugas-tugas kuliah,
ataukah sibuk mentarbiyah (mungkin sudah merasa diri hebat, jadi tidak perlu
tarbiyah lagi. sisa mentarbiyah saja fikirnya).
Ikhwani fiddin, terkadang pula kita tidak beradab kepada ustadz, dengan
datang setelah beliau datang di tempat, sementara jika mahasiswa baru datang
untuk mendaftar, kita dapat stanby di loket, 1 atau 2 jam sebelumnya,
subhanallah. Apa gerangan yang menjadi penyebabnya? Apakah karena kita memang
tidak memberikan perhatian yang lebih kepada tarbiyah? Ataukah kita memang
lebih mengutamakan “Dakwah” ketimbang “Tarbiyah”? Padahal kita sudah sebutkan sebelumnya
bahwa memperbaiki diri lebih utama ketimbang yang lainnya? Bukankah Allah
peintahkan untuk menjaga diri kita kemudian menjaga keluarga? Sebagaimana dalam
firmannya QS At Tahrim ayat : 6
Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman dalam QS Al Anfaal ayat 63:
“dan
Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman)[622]. Walaupun kamu
membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan
hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya
Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana.”
Ikhwany fiddin. Seyogyanya –bagi kami pribadi- tarbiyah adalah ajang
mempererat ukhuwah yang ada di antara pesertanya. Bagaimana tidak, dulu, dulu
sekali, kami sangat ingat bahwa kami hanya mengenal ikhwa yang berasal dari
satu fakultas saja, namun setelah ikut program tarbiyah aksel, maka kami pun
mendapat teman dari fakultas lain. saling mengunjungi, saling bercengkrama
dengan yang lainnya. Intinya begitu indah rasanya, namun seiring perkembangan
zaman dan waktu (kayak orang tua tempo doeloe banget) ikatan itu semakin
mengendur. Yang kami perhatikan ternyata karena kesibukan kita dalam mengemban
amanah dakwah. Untuk mengajak orang lain ke dalam islam, sehingga ikhwa yang
sudah bersama kita jarang sekali diperhatikan.
Jika seorang diantara kita tidak datang tarbiyah, tidak ada yang tahu
mereka sedang apa, padahal beliau sedang meradang seorang diri di kost-annya
karena sakit yang berat. Sebelum- kami sudah mempublish catatan dengan judul “Kita,
Ukhuwah dan Sandiwara”
Saudaraku, sekali lagi bahwa catatan ini hanya pandangan dari penulis
saja, namun niat kami semata agar kita kembali memaknai Tarbiyah yang kita
jalani selama ini. Ruhnya, semangatnya, persatuannya, dan keyakinan dan
cita-cita bahwa inilah jalan kejayaan Ummat!
Diselesaikan di
Kampus UNM Parang Tambung, 18 November 2012
0 comments:
Post a Comment