Social Icons

Pages

Labels

Thursday, June 21, 2012

Cinta Untuk ibu

Rerintik hujan yang turun membasahi gersangnya bumi, ibarat air yang mengaliri kerongkongan yang sangat haus dan dahaga. Tak lama kemudian, mentari tersenyum pada kita… Dan tinggallah tetesan embun yang menari-nari mencoba menjalin kasih dengan dedaunan yang mulai melayu, kehausan. Duh hari, engkau tak terduga kini… Seketika engkau cerah, seketika pula engkau mendung… Seketika engkau kering, seketika itu pula engkau tadah hujan untuk membasahi segenap yang ada di bumi.

Matahari kian meninggi, mencoba untuk merayap di tangga-tangga waktu… Sorak-sorai orang tua yang membangunkan anaknya -yang tengah tertidur- untuk ke sekolah terdengarlah pula. Tak perlu air, sang istri mencoba membangunkan suaminya dengan menepuk-nepuk tangan dan mencubiti pipinya… Keluarga yang lain tengah sibuk untuk menyiapkan sarapan ala kadarnya, roti, nasi, sayur, nasi goreng, mie goreng, ikan presto, dan lain-lain… Banyak namun sederhana. Ala kadarnya saja.

Cermin tak ketinggalan memberikan sumbangsinya… Dipantulkannya bayangan semu terbalik dan sama besar itu kepada gadis-gadis yang berdandan tanpa make up dan lipstick di pipi dan bibirnya… Seorang ibu yang berbahagia atas kelulusan anaknya dan akan diwisuda pagi sampai siang ini mengenakan pakaian terindah yang ia miliki, persembahan untuk anaknya tercinta yang telah menamatkan jenjang kuliah strasa satunya.

Aku. Hanya sebagai penonton saja… Hari ini masih sama seperti kemarin dan kemarin. Meski tersenyum, namun hanya satu dua saja bahagia yang ku anggap, bisa dihitung oleh anak kecil seumuran sepupuku yang tengah bercerita sendiri di sampingku ini.. Tak ku pedulikan ia. Kasihan juga namun tak mengapa, aku tak ingin kehilangan ide-ide yang terus mengalir dalam kepalaku. Harus segera ku tumpahkan ke dalam monitor netbook ini melalui keyboard kecil yang menempelinya…

Hari mengugurkan setangkai demi setangkai detik-detiknya, hanya CROSS ini yang setia menemaniku… Ku dengarkan kembali siraman qolbu dari ustadz Abu Zubair al Hawaary, judulnya “Wahai Ibu, Inilah Baktiku Padamu.” Kembali ingin ku teteskan bulir-bulir mutiara cair di kelopak mataku, namun tertahankan dengan sangat dahsyatnya, tak ingin ku kecolongan dan kemudian dianggap cengeng!!!

Kutuliskan beberapa paragraph dari ceramah itu:
 
Ibu, adalah kata pertama yang kita ucapkan ketika mulai pandai berbicara, pernahkah anda dengar seorang anak memanggil, “(A)yah! (Pa)pa! (A)bi!?” Ketika ia mulai pandai berbicara? Kata pertama yang terucap di lidahnya ialah “Ma! Bu! (Um)mi! kata terindah yang pernah terucap di lisan kita.
Ingin ku ungkapkan terima kasih dan subuah pengakuan kepada ibu saya, sebuah pengakuan dan terima kasih kepada ibuku yang saya yakini telah berjasa banyak kepada saya, setelah anugrah dan rahmat Allah subhanahu wa ta’ala. Apapun yang saya katakan, apapun yang saya lakukan, jelas tidak akan memapu membalas jasamu wahai ibu.
Aku takkan melupakan haribaanmu yang penuh kasih sayang. Tidak akan kulupa malam-malam yang engkau lewati tanpa memejamkan mata dan hari-harimu yang penuh degan keletihan. Aku tidak akan lupa ketika kita mengelilingi makan di atas tikar pandan, lalu engkau medahulukan kami, anak-anakmu dari pada dirimu sendiri. Engkau dahulukan kami dari dirimu dengan makanan dan minuman yang lezat dan enak, bahkan setelah kami tumbuh dewasa, engkau masih rela menyuapkan makanan ke mulut kami wahai ibu.
Betapa letihnya engkau wahai ibu, ketika kami terlambat pulang di malam hari karena sibuk bermain. Seluruh penghuni rumah telah terlelap, tinggallah engkau menahan kantuk, menunggu kepulangan kami. Dulu engkau takut dan khawatir, ketika kami bermain di tepian sungai. Aku ingat! Engkau pernah marah ketika itu dan memukulku saat aku bermain di tepian sungai, ketika itu aku belum mengerti kenapa engkau marah. Ketika anakmu ini tumbuh besar dan dewasa aku mulai mengerti dan Paham, semua itu engkau lakukan karena mengkhawatirkan keselamatan aku, anakmu.
Ibu, aku tidak akan lupa ketika aku beranjak dewasa dan pergi merantau untuk menuntut ilmu, engkau ikut bersusah payah, bekerja, menumpuk tepung, berjualan, mengumpulkan uang dari sana dan sini untuk pendidikan anakmu. Ya Allah, rahmatilah ibuku.
Betapa letihnya diriku ketika pulang liburan, dan datanglah saat untuk kembali ke perantauan menuntut ilmu. Hatiku terasa terputus2 ketika engkau melepas kepergianku seraya berkata “Ananda, mungkin ketika engkau pulang lagi nanti, engkau tidak akan melihatku lagi.“ Alangkah sedih hatiku setelah bertahun-tahun aku tidak pulang. Ketika pertama kali berdiri di hadapanmu, engkau katakan “Ini bukan anakku” karena kondisi dan penampilanku yang tidak seperti engkau bayangkan. Tak kuasa diri menahan air mata, mendengar ucapan dan kata2 itu, membuatkanku tersungkur dan memeluk kakimu dan ketika tanganmu membelai kepalaku, terasa tetesan2 embun memadamkan dan mengobati kerinduan hati. Setelah perjalanan panjang yang ku lewati, wahai ibu! Aku pulang dan engkau telah beranjak tua, engkau pun mulai lemah.
Sungguh, engkau telah berikan untukku dan saudara-saudaraku hari2 hari terindah dan tahun2 paling manis dalam hidupku. Betapa letihnya engkau membela kami, entah berapa banyak pengorbananmu untuk kami, engkaulah yang telah menaggung kegundahan dan keresahan kami, engkau selalu berusaha mewujudkan keinginan2 kami. Pun ketika kami telah besar.
Dulu saya dipanggil fulan, hari ini orang memanggilku ustadz abu zubair al hawari. Semua itu demi Allah tidak lain dan tidak bukan karena anugrah Allah semata kemudian karena jasamu, wahai ibu. Aku ini -demi Allah- tidak lain dan tidak bukan adalah salah satu dari sekian banyak buah kebaikanmu, semoga Allah membalas kebaikanmu dengan sebaik baik pahala.
Wahai pemilik senyuman yang tulus, wahai pemilik hati yang dermawan dan penuh kasih sayang, untukmu duhai bunga yang tak pernah layu, untukmu duhai mata air yang bening, untukmu yang telah mengusap air mataku, untukmu yang telah membasuh kotoranku, yang telah menyuapkan makan dan minum dengan tangannya ke mulutku, untukmu yang telah menjadikan haribaannya sebagai ketenangan bagiku, matamu yang selalu mengawasiku, kuhadiahkan untai kata dan rangkai kalimat hari ini untukmu, semoga Allah membalas segala budi baikmu dengan sebaik2 balasan. Ya Allah jagalah ibuku dengan penjagaanmu. Panjangkanlah umurnya, perbaikilah amalannya, dan tutuplah usianya dengan amalan yang sholeh di dalamnya.
Ibu, kalaulah aku bisa menambah umurmu, akan aku tambah dengan umurku sekalipun aku harus binasa karenanya. Ibu, kalau aku kuasa akan ku angkat engkau setinggi2nya ke langit. Wallahi, demi Allah tidak aka ada yang mampu memberikan hakmu secara sempurna kecuali Allah ta’ala.
Itulah sedikit kata yang sempat ku tuliskan dan ku persembahkan untuk anda yang masih memiliki ibu agar menjaga beliau dengan baik dan membahagiakannya, dank u persembahkan pula kepada yang tak memilikinya kini, bahwa ia adalah seorang yang telah selalu mencintaimu maka doakanlah kebaikan padanya.
Sepupuku tak mau berhenti mengoceh di telingaku. Padahal tak banyak yang dapat ku mengerti dari kalimat-kalimat cadelnya ketika harus berbicara panjang lebar. Sebab jika ku suruh untuk mengucapkan perkata, maka ia mampu mengucapnya dengan lancar. Bahkan huruf “R”.
Terkadang aku bingung, “Hiduplah Untuk Hari Ini”, namun lintasan2 masa lalu dan bayang2 masa datang tak jua ingin lepas dari pikiranku. Satu persatu kenangan2 mulai bermunculan, aku tersenyum2 sendiri sambil menulis, dan kadang pula ada jengkel sebagai ekspresi dari kenangan2 itu.

0 comments:

Post a Comment