Seorang
pria yang bertamu ke rumah Sang Guru tertegun keheranan. Dia melihat Sang Guru
sedang sibuk bekerja; ia mengangkuti air dengan ember dan menyikat lantai
rumahnya keras-keras. Keringatnya bercucuran deras. Menyaksikan keganjilan ini
orang itu bertanya, “Apa yang sedang Anda lakukan?”
Sang
Guru menjawab, “Tadi saya kedatangan serombongan tamu yang meminta nasihat.
Saya memberikan banyak nasihat yang bermanfaat bagi mereka.
Mereka
pun tampak puas sekali. Namun, setelah mereka pulang tiba-tiba saya merasa
menjadi orang yang hebat. Kesombongan saya mulai bermunculan. Karena itu, saya
melakukan ini untuk membunuh perasaan sombong saya.”
Sombong
adalah penyakit yang sering menghinggapi kita semua, yang benih-benihnya
terlalu kerap muncul tanpa kita sadari. Di tingkat terbawah, sombong disebabkan
oleh faktor materi. Kita merasa lebih kaya, lebih rupawan, dan lebih terhormat
daripada orang lain.
Di
tingkat kedua, sombong disebabkan oleh faktor kecerdasan. Kita merasa lebih
pintar, lebih kompeten, dan lebih berwawasan dibandingkan orang lain.
Di
tingkat ketiga, sombong disebabkan oleh faktor kebaikan. Kita sering menganggap
diri kita lebih bermoral, lebih pemurah, dan lebih tulus dibandingkan dengan
orang lain.
Yang
menarik, semakin tinggi tingkat kesombongan, semakin sulit pula kita
mendeteksinya. Sombong karena materi sangat mudah terlihat, namun sombong
karena pengetahuan, apalagi sombong karena kebaikan, sulit terdeteksi karena
seringkali hanya berbentuk benih-benih halus di dalam batin kita.
Akar
dari kesombongan ini adalah ego yang berlebihan. Pada tataran yang lumrah, ego
menampilkan dirinya dalam bentuk harga diri (self-esteem) dan kepercayaan diri
(self-confidence) . Akan tetapi, begitu kedua hal ini berubah menjadi
kebanggaan (pride), Anda sudah berada sangat dekat dengan kesombongan. Batas
antara bangga dan sombong tidaklah terlalu jelas.
Kita
sebenarnya terdiri dari dua kutub, yaitu ego di satu kutub dan kesadaran sejati
di lain kutub. Pada saat terlahir ke dunia, kita dalam keadaan telanjang dan
tak punya apa-apa. Akan tetapi, seiring dengan waktu, kita mulai memupuk
berbagai keinginan, lebih dari sekadar yang kita butuhkan dalam hidup. Keenam
indra kita selalu mengatakan bahwa kita memerlukan lebih banyak lagi.
Perjalanan
hidup cenderung menggiring kita menuju kutub ego. Ilusi ego inilah yang memperkenalkan kita kepada dualisme ketamakan (ekstrem suka) dan kebencian
(ekstrem tidak suka). Inilah akar dari segala permasalahan.
Perjuangan
melawan kesombongan merupakan perjuangan menuju kesadaran sejati. Untuk bisa
melawan kesombongan dengan segala bentuknya, ada dua perubahan paradigma yang
perlu kita lakukan. Pertama, kita perlu menyadari bahwa pada hakikatnya kita
bukanlah makhluk fisik, tetapi makhluk spiritual. Kesejatian kita adalah
spiritualitas, sementara tubuh fisik hanyalah sarana untuk hidup di dunia. Kita
lahir dengan tangan kosong, dan (ingat!) kita pun akan mati dengan tangan
kosong.
Pandangan
seperti ini akan membuat kita melihat semua makhluk dalam kesetaraan universal.
Kita tidak akan lagi terkelabui oleh penampilan, label, dan segala “tampak
luar” lainnya. Yang kini kita lihat adalah “tampak dalam”. Pandangan seperti
ini akan membantu menjauhkan kita dari berbagai kesombongan atau ilusi ego.
Kedua,
kita perlu menyadari bahwa apa pun perbuatan baik yang kita lakukan, semuanya
itu semata-mata adalah juga demi diri kita sendiri.
Kita
memberikan sesuatu kepada orang lain adalah juga demi kita sendiri.
Dalam
hidup ini berlaku hukum kekekalan energi. Energi yang kita berikan kepada dunia
tak akan pernah musnah. Energi itu akan kembali kepada kita dalam bentuk yang
lain. Kebaikan yang kita lakukan pasti akan kembali kepada kita dalam bentuk
persahabatan, cinta kasih, makna hidup, maupun kepuasan batin yang mendalam.
Jadi, setiap berbuat baik kepada pihak lain, kita sebenarnya sedang berbuat
baik kepada diri kita sendiri. Kalau begitu, apa yang kita sombongkan?
0 comments:
Post a Comment