Social Icons

Pages

Labels

Sunday, April 16, 2017

Di Sini Masalahnya!

Dari Abu Said, yaitu Sa'ad bin Sinan al-Khudri رضي الله عنه  bahwasanya Nabiullah صلی الله عليه وسلم  bersabda:
"Ada seorang lelaki dari golongan umat yang sebelummu telah membunuh Sembilan puluh sembilan manusia, kemudian ia menanyakan tentang orang yang teralim dari penduduk bumi, ialu ia ditunjukkan pada seorang pendeta. lapun mendatanginya dan selanjutnya berkata bahwa sesungguhnya ia telah membunuh sembilanpuluh sembilan manusia, apakah masih diterima untuk bertaubat. Pendeta itu menjawab: "Tidak dapat." Kemudian pendeta itu dibunuhnya sekali dan dengan demikian ia telah menyempurnakan jumlah seratus dengan ditambah seorang lagi itu. Lalu ia bertanya lagi tentang orang yang teralim dari penduduk bumi, kemudian ditunjukkan pada seorang yang alim, selanjutnya ia mengatakan bahwa sesungguhnya ia telah membunuh seratus manusia, apakah masi'h diterima taubatnya. Orang alim itu menjawab: "Ya, masih dapat. Siapa yang dapat menghalang-halangi antara dirinya dengan taubat itu. Pergilah engkau ke tanah begini-begini, sebab di situ ada beberapa kelompok manusia yang sama menyembah Allah Ta'ala, maka menyembahlah engkau kepada Allah itu bersama-sama dengan mereka dan janganlah engkau kembali ke tanahmu sendiri, sebab tanahmu adalah negeri yang buruk." Orang itu terus pergi sehingga di waktu ia telah sampai separuh perjalanan, tiba-tiba ia didatangi oleh kematian.


Kemudian bertengkarlah untuk mempersoalkan diri orang tadi malaikat kerahmatan dan malaikat siksaan - yakni yang bertugas memberikan kerahmatan dan bertugas memberikan siksa, malaikat kerahmatan berkata: "Orang ini telah datang untuk bertaubat sambil menghadapkan hatinya kepada Allah Ta'ala." Malaikat siksaan berkata: "Bahwasanya orang ini sama sekali belum pernah melakukan kebaikan sedikitpun."

Selanjutnya ada seorang malaikat yang mendatangi mereka dalam bentuk seorang manusia, lalu ia dijadikan sebagai pemisah antara malaikat-malaikat yang berselisih tadi, yakni dijadikan hakim pemutusnya - untuk menetapkan mana yang benar. Ia berkata: "Ukurlah olehmu semua antara dua tempat di bumi itu, ke mana ia lebih dekat letaknya, maka orang ini adalah untuknya - maksudnya jikalau lebih dekat ke arah bumi yang dituju untuk melaksanakan taubatnya, maka ia adalah milik malaikat kerahmatan dan jikalau lebih dekat dengan bumi asalnya maka ia adalah milik malaikat siksaan." Malaikat-malaikat itu mengukur, kemudian didapatinya bahwa orang tersebut adalah lebih dekat kepada bumi yang dikehendaki -yakni yang dituju untuk melaksanakan taubatnya. Oleh sebab itu maka ia dijemputlah oleh malaikat kerahmatan." (Muttafaq 'alaih)

Hadits ini sering menjadi dalil tentang keutamaan alim (orang berilmu) di atas abid (ahli ibadah). Memang benar, sebuah ucapan bisa menjerumuskan seseorang ke dalam kerusakan yang berakibat minimal untuk dirinya sendiri dan potensi mendatangkan kerusak bagi orang lain.

Keburukan yang didapatkan akibat ucapannya yang tidak didasari pengetahuan membuatnya harus menanggung perihnya kematian di tangan penjagal. Sedangkan akibat ucapannya terhadap orang lain adalah membuat orang lain tersebut melakukan keburukan lagi dengan menggenapkan korbannya menjadi seratus jiwa.

Sedangkan seorang alim yang dapat memberikan jawaban tas dasar ilmu dan ucapannya dibungkus dengan keoptimisan dan solusi nyata untuk dijalani serta kesesuain harapan dengan penanya membuatnya tidak hanya menyelamatkan jiwanya, namun juga menyelamatkan jiwa seorang lainnya.

Jawaban optimis seperti ini bisa digolongkan ke dalam ucapan lemah lembut karena di dalamnya berisi kabar gembira dan disampaikan dengan pilihan kat yang tepat.
1.  
    “Oi, kamu. Singgah ke rumahku!”
2. “Silakan singgah di rumahku.”

Tentu kita akan mendapatkan kesan yang berbeda dari kedua contoh kalimat di atas. Jika seseorang memanggil kita dengan kalimat nomor satu, maka besar kemungkinan kita akan menolak untuk singgah. Kabur malahan. Namun jika seseorang memanggil kita dengan kalimat ke dua, maka barang tentu ada ketenangan dan kepasrahan untuk masuk ke rumahnya.

Ada kalanya…
Iya, memang ada kalanya kita harus tegas kepada orang, namun tidak melazimi untuk melakukan hal tersebut. Jika kepada Fira’un kafir saja kita diminta untuk berlemah lembut, maka bagaimana lagi kepada orang yang masih berstatus seorang muslim? Tentu kelemahlembutan dan ajakan baik lebih utama untuk mereka dapatkan.

Dalam Ali Imran ayat 159 Allah berfirman:
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka…

Kelemahlembutan itu rahmat
Kelemahlembutan itu jalan hidayah
Kelemahlembutan itu akhlak mulia


Maka berlemahlembutlah saudaraku.

0 comments:

Post a Comment