Oleh: Ilham Kadir. Dosen STKIP Muhammadiyah Enrekang; Peneliti MIUMI.
Ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar, saya pernah mengajukan pertanyaan kepada guru sejarah tentang kedudukan Kartini sebagai pahlawan nasional. Sang guru menerangkan dengan sempurna bahwa R.A. Kartini adalah pelopor pejuang emansipasi wanita, seandainya beliau tidak memperjuangkan wanita supaya memiliki hak yang sama dengan kaum pria dalam berbagai hal, niscaya wanita Indonesia tidak akan bisa maju dan bersaing.
Karena masih tidak puas dengan jawaban pak guru, maka saya kembali mengajukan pertanyaan pada ibu di rumah yang juga terbiasa membaca buku-buku sejarah. Namun jawaban orang tua saya tidak jauh beda dengan sang guru. Intinya, ‘Ibu Kita Kartini –sebagaimana yang tertuang dalam lagu—adalah satu-satunya pelopor perjuangan wanita pribumi pada masanya.
Jawaban guru dan orang tua saya di atas telah menjadi ‘credo’ dalam benak saya dan mungkin masyarakat Indonesia secara umum karena memang demikianlah yang termaktub dalam buku-buku sejarah kita. Dalam “https://id.wikipedia.org/wiki/Kartini” misalnya menulis pikiran-pikiran Kartini yang di pada surat-suratnya tentang kondisi sosial pada masanya, terutama kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar sebagaimana kaum pria. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis, Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Raden Adjeng Kartini, biasa juga disebut Raden Ayu Kartini, lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879, meninggal di Rembang, 17 September 1904 pada umur 25 tahun, bersuku Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Pergulatan intelektualnya bermula ketika berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, aktivis gerakan ‘Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP)’. Wanita Berbangsa Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini dengan berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme seperti H.H. van Kol dan penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai ‘Pendekar Wanita Indonesia’.
Pada tahun 1911, enam tahun lebih pasca kematian Kartini yang hanya berusia 25 tahun, sebuah usia yang relatif singkat, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul ‘Door Duisternis tot Lich’. Lalu terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan tema ‘Letters of a Navaness Princess’. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul ‘Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, 1922’.
Sekitar dua tahun setelah penerbitan buku di atas, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai oleh C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda. Saat itu, orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini Sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak ada yang mengenalnya dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka, (Dr. Adian Husaini, Pendidikan Islam, Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab, 2012).
Kartini Digugat
Pada tahun 1970-an, di saat kuku Orde Baru mencengkram dengan kuatnya, seorang guru besar dari Universitas Indonesia, Prof. Dr. Hasja W. Bachtiar menggugaat penokohan Kartini, bahkan ia lebih jauh mengkritik ‘pengkultusan’ Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia, sebuah pemikiran yang langka dan dianggap aneh saat itu.
Dalam buku, “Satu Abad Kartini, 1879-1979”, Hasja W. Bachtiar menulis sebuah artikel bertajuk, “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”. Guru besar yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University Amerika itu menulis, “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.”
Tak hanya menggugat dan mempertanyakan penokohan dan pengkultusan Kartini, Prof. Hasja juga memberikan contoh lain wanita Indonesia yang lebih layak ditokohkan dan diangkat menjadi pahlawan ketimbang Kartini yang sumbangsihnya terhadap perjuangan kaum perempuan masih sebatas ide. Wanita yang sangat ideal dijadikan ikon perjuangan kaum perempauan di Indonesia adalah Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan.
Sultanah Safiatuddin dikenal pada masanya sebagai sosok wanita yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia juga menguasai dengan baik bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu kesusastraan berkembang pesat di Aceh. Ketika itu lahir karya-karya besar Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf Singkel. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di tanah rencong. VOC harus gigit jari dan tak berhasil mendapat monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya saat Sultanah memerintah. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik pria mau pun wanita. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, 1644-1675.
Aisyah We Tenriollle
Hingga saat ini, La Galigo masih menjadi satu-satunya epik terpanjang yang pernah dilahikran oleh peradaban manusia, kendati isinya penuh dengan mitos dan peristiwa-peristiwa luar biasa masa lampau. Namun demikian, epik ini tetap memberikan gambaran kepada sejarawan mengenai kebudayaan Bugis sebelum abad ke-14. Versi bahasa Bugis asli La Galigo hanya dipahami oleh segelintir orang, sebelum disunting dan ditulis ulang. Hanya sebagian saja dari La Galigo yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan Indonesia, dan tidak ada versi lengkapnya dalam bahasa Inggris.
Sebagian manuskrip La Galigo dapat ditemui di perpustakaan-perpustakaan Eropa, terutama di Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde Leiden di Belanda. Hikayat La Galigo telah menjadi dikenal di khalayak internasional secara luas setelah diadaptasi dalam pertunjukan teater I La Galigo oleh Robert Wilson, sutradara asal Amerika Serikat, yang mulai dipertunjukkan secara internasional sejak tahun 2004.
Sampai sekarang belum diketahui dengan pasti, siapa yang menulis La Galigo, dan hampir saja punah dari peradaban andai tidak dikumpulakan oleh seorang wanita jenius, dialah Siti Aisyah We Tenriolle yang berinisiatif menulis ulang epos tersebut dalam Bahasa Bugis umum yang bisa dipahami oleh semua kalangan.
Siti Aisyah We Tenriolle adalah Datu (Ratu) dari Tanette (kini Bone) Sulawesi Selatan. Memerintah di Kerajaan Tanette tahun 1855-1910. Dia menjabat sebagai Ratu selama limapuluh lima tahun, masa jabatan yang cukup lama.
Ayahnya bernama La Tunampareq alias To Apatorang dengan gelar Arung Ujung. Sedangkan ibunya bernama Colliq Poedjie yang bergelar Arung Pancana. Bersama ibundanya yang intelek dan mengurusi pengarsipan dokumen-dokumen kerajaan, Aisyah menyelami sastra-sastra Bugis kuno, terutama La Galigo.
Kerajaan Tanette merupakan kerajaan Islam. Pengaruh Islam melekat sangat kuat sebagaimana di kerajaan lainnya seperti kerajaan Goa,Tallo dan Bone. Meski demikian, semasa La Rumpang menjabat menjadi Raja, beliau tidak menutup diri dari kebudayaan lain yang masuk.
Di masa pemerintahannya, La Rumpang menjalin persahabatan yang cukup baik dengan B.F. Matthes dan Ida Pfeiffer. B.F.Matthes adalah peneliti dari Belanda yang dikirim ke Hindia Belanda dari perwakilan Nederlandsch Bijbelgenootschaap (Lembaga dari Belanda yang mengurusi masalah kitab-kitab). Lewat kedatangan Matthes pada tahun 1853 inilah La Galigo berhasil digali kembali dan diterjemahkan. Sedangkan Ida Pfeiffer adalah orang Austria yang melakukan perjalanan keliling dunia dan menyempatkan diri singgah di Tanete salah satu daerah di Kabupaten Barru saat ini.
Kecerdasan dan kecakapan Aisyah terlihat semasa ia menjadi Ratu. Tidak hanya cerdas di bidang kesusateraan tapi juga bidang pemerintahan dan bidang pendidikan. Aisyah berhasil mendirikan sekolah bagi rakyatnya. Sekolah tersebut tidak hanya diperuntukan bagi laki-laki, tetapi juga perempuan. Meski kurikulumnya masih sangat sederhana, hanya membaca, menulis dan berhitung tapi pada masa itu tergolong sudah sangat hebat. Karena pada masa itu anak perempuan tidak bersekolah. Aisyah adalah tokoh yang pertama kali mendirikan sekolah yang menerima murid putra dan putri dalam satu kelas. Dia berhasil mewujudkan kesetaraan hak pendidikan bagi laki-laki dan perempuan jauh sebelum Kartini dilahirkan. Aisyah menginginkan rakyatnya melek pendidikan, tidak terkecuali perempuan.
Di bidang pemerintahan Aisyah menerapkan konsep Pau-Pauna Sehek Maradang (lima tuntunan Hikayat Syekh Maradang). Hikayat tersebut menyebutkan bahwa kewajiban pemimpin itu ada lima yaitu, (1) Orang yang pintar adalah orang yang memikirkan bagaimana menciptakan kesejahteraan suatu negeri; (2) Orang yang kaya adalah orang yang memiliki harta benda dan mendermakan kekayaannya untuk membangun negerinya; (3) Orang pemberani adalah orang yang dapat melindungi rakyatnya; (4) Wali adalah orang yang dimuliakan Allah; dan (5) Fakir adalah orang yang diterima doanya oleh Allah.
Aisyah sangat mencintai dunia sastra. Melalui kekuasaannya, dia berhasil mengumpulkan naskah-naskah tua La Galigo yang terserak di beberapa kerajaan yaitu Goa,Tallo, dan Bone. Dia dan ibunya mengumpulkan naskah tersebut selama duapuluh tahun. Bersama BF.Matthess, peneliti asal Belanda, mereka tekun menyelamatkan naskah tersebut. Akan tetapi diperkirakan baru sepertiga dari naskah keseluruhan yang berhasil diselamatkan. Aisyah menerjemahkan ke dalam bahasa Bugis, lalu Mathess menerjemahkan ke bahasa Belanda dari hasil suntingan Aisyah. Oleh Matthes terjemahan ke dalam Bahasa Belanda ini kemudian diserahkan kepada Pemerintah Kerajaan Belanda lewat Nederlandsch Bijbelgenootschaap dan diabadikan di Perpustakaan Universitas Leiden.
Karya La Galigo bisa mencuat ke dunia internasional berkat jasa Siti Aisyah we Tenriolle, Colliq Poedjie, dan BF Matthes. Aisyah memiliki peran yang paling dominan. Karena dialah yang menguasai sastra bugis kuno sekaligus kekuasaanya yang sangat kuat sebagai ratu. Aisyah adalah wanita yang hebat, akan tetapi sangat disayangkan bangsa Indonesia kurang menghargainya lebih khusus orang Sulawesi.
Ironisnya, dalam buku “Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia, 1978”, terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani), Sultanah dan Aisyah sama sekali tidak pernah tersentuh namanya oleh pena sejarah. Jika kartini hanya menuangkan idenya dalam surat-surat, maka Aisyah We Tenriolle telah berbuat banyak untuk memajukan kaum wanita dan pria sekaligus, dan meninggalkan jejak yang tak terhingga oleh dunia.
Kini, tugas kita adalah meluruskan sejarah yang dibengkokkan oleh kaum penjajah, mari berbuat adil terhadap para pahlawan, dengan menempatkan mereka pada posisi yang semestinya.
Di era yang terbuka dan otonomi seperti sekarang ini, selayaknya orang Sulawesi mengangkat tokoh-tokoh seperti Aisyah untuk dijadikan suri tauladan pada generasi penerus kita. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya. Hidup memang bergerak kedepan namun hanya bisa dipahami jika menoleh ke belakang. Wallahu a’lam!
Friday, April 21, 2017
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment