Bone Kota Beradat. Begitulah kira-kira apa yang akan kita baca kalau menyempatkan
diri untuk berkunjung ke Bone, khususnya di daerah pusat kota. Begitu banyak
terpampang di sepanjang jalan. Di tempat sampah, di pot bunga, di gerbang
bersama ucapan selamat datang. Bone Kota Beradat telah
menjadi Jargon bagi kawasan kita ini.
Namun
sungguh disayangkan… Bone yang dulunya kita kenal sebagai kawasan yang saling
tolong menolong, gotong royong, hormat menghormati, budaya malu, dan segudang
kebaikan lagi. Seolah-olah semakin memudar dan menuju peradaban kota yang pada
umumnya egois, peduli diri sendiri, sangat disayangkan.
Bagaimana tidak, suatu ketika dalam
perjalanan ke Makassar, tepat tanggal 2 Desember 2013, sebuah kecelakaan
tunggal. Pengendara motor menabrak seekor anjing yang menyebabkannya harus
jatuh tersungkur sampai pingsan. Nah, disini letak ketidakberadatan warga kita
saat ini. Warga yang berada di sekitar tempat itu hanya melihat tanpa memberi
bantuan.
Dua orang pengendara lainnya yang berada
di belakang, kami dan orang yang berboncengan lainnyalah yang singgah untuk
menolong, mengangkat, dan memberinya minum sebagai upaya penyelamatan agar ia
tersadar dari pingsannya yang panjang.
Kala hendak diangkat dari jalan, untuk
sekedar berbaring karena tidak sadarkan diri. Berempat dengan boncengannya yang
–Alhamdulillah- tidak pingsan mengangkat untuk memberikan pertolongan. Alangkah
disayangkan, ketika hendak membawanya ke teras rumah salah seorang warga yang
masih mengenakan seragam kantornya. Tidak lain dan tidak bukan pegawai
pemerintahan, serta merta ia memberikan kode dengan tangannya yang bermakna “Jangan
bawa ke sini, di sana saja” yang akhirnya kami terpaksa mengarahkannya
ke teras sebuah gubuk kecil yang kebetulan tidak terbuka.
Yaa Allah, inikah masyarakat kami kini?
Sampai di situ saja? Tidak saudaraku,
warga yang ada di tempat itu tidak memberikan pertolongan sama sekali. Mereka
hanya berkerumun di sekitarnya. Melihat-lihat saja. Berceloteh tentang
bagaimana kejadian itu berlangsung. Sementara kami bertiga sibuk mencarikan
cara agar orang tersebut segera sadar! Untung saja di bagasi motor ada segelas
air yang tak sengaja saya beli untuk diminum dalam perjalanan.
Ya Allah, tidakkah mereka tahu akan kabar
Rasul-Mu Bahwa tidaklah dianggap sempurna keimanan kami sampai kami
mencintai saudara kami sebagaimana kecintaan kami kepada diri kami sendiri?
Ya Allah, inikah potret masyarakat kami
kini?
Saudara-saudarku, tentu ini menjadi PR
bagi kita. Dekadensi moral yang terjadi di tengah ummat tentu merupakan bukti
bahwa perjuangan kita –mungkin- masih sangat kurang. Coba saja bandingkan
jumlah kita yang –sedikit- faham dengan keutamaan berdakwah, belajar tentang
adab, mengetahui balasan yang baik bagi orang yang memberikan manfaat, janji
akan menjadi manusia terbaik bagi yang paling baik kepada sesama dengan mereka
yang tidak faham dengan Islam dengan baik. Adakah ia sebanding? Ataukah
sepertiganya? Atau seperlimanya? Atau sepersepuluhnya? Tidak! Mungkin diantara
700 orang warga hanya ada 1 orang yang faham (mendapat hidayah) dengan baik
Islam ini.
Wahai aktivis dakwah, ke mana kita?
Akankah dekadensi moral, keengganan untuk saling menolong, keegoisan akibat
jauhnya ummat dari diynul islam ini kita biarkan begitu saja? Apa kita akan
tinggal diam saja? Duduk ongkang kaki di tanah rantau? Menjadikan orang-orang
yang dating ke kota ini terbina/terdidik, sementara keluarga kita, kaum kita,
tetangga kita yang ada di Bone saban hari semakin jauh dari nilai-nilai agama
dan juga adat baik mereka? Bukankah adat kita gotong royong? Saling bantu
membantu? Mana semboyan “Bone kota beradat”?
Is al li nafsik, “madza qaddamtu
lidiynillah?”
-Gencarkan Dakwah Daerah-
Diselesaikan di Makassar,
30 Desember 2013
0 comments:
Post a Comment